Wednesday, July 18, 2018

Sedikit Soal Bid'ah

Bismillahirohmanirohim. In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful.

Kronoligis kejadian adalah saat saya sedang putar putar di wordpress, kemudian menemukan sebuah temuan yang benar benar benar menarik saya untuk mediskusikannya dengan diri saya sendiri. Di salah satu blog yang masih tergabung dalam “Komunis”tas komunitas wordpress ini, saya menemukan tulisan yang sungguh sungguh mengejutkan hati dan fikiran saya sebagai seorang Muslim. Sebelum saya membahasnya, saya mohon dengan sangat bagi pemilik blog yang tulisannya saya kutip. Agar sekiranya dapat memahami dan mencerna tulisan saya dengan baik, juga harap maklum bahwa saya tidak menyerang ataupun membenci blog anda, namun saya ingin membahas tulisan yang anda cantumkan.

Karena saya adalah Generasi Biru yang cinta damai, karenanya saya tidak suka menyerang pribadi orang lain, tapi saya suka dengan diskusi bermutu. Saya juga tidak ingin menebarkan atau menanamkan kebencian, jika kemudian ada yang merasa tersinggung atau tidak terima, baik itu yang Muslim atau yang beragama lain. Silakan protes, tapi gunakan bahasa yang sopan intelek dan mencerminkan bahwa isi otak anda bukan sebesar batu kerikil atau sebesar sebiji kacang ijo, minimal tidak menggunakan dan memasukkan binatang peliharaan menjadi kata kata makian.

Kalau memang harus memaki dan tidak dapat lagi menahan diri untuk mengeluarkan sumpah serapah, gunakan saja makian dan sumpah serapah macam : Bagus Sekali! Hebat, anda memang Jenius, atau Ganteng Banget Sih Kamu. Atau sekalian saja berkomentar yang lucu dan konyol!!!!

Sebelum anda muntah ataupun sakit perut membaca tulisan yang tidak mutu ini, lebih baik anda mundur sekarang. Gimana? masih mau lanjut? Baiklah saya mulai saja. Tolong di baca baik baik, dengan ketelitian penuh, dengan fikiran dulu, baru dengan hati. Yang saya kutip adalah:
Al Fudlail Bin Iyyadl berkata, “Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al-Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping Yahudi dan Nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al-Lalikai 4/638 no. 1149)
Pembahasan dan argumen saya:

Al Fudlail Bin Iyyadl : Jujur saya tidak tau siapa orang ini, apakah dia orang Arab, orang Iran, orang India atupun orang Indonesia dengan nama kearab araban. Yang jelas dia bukan salah satu dari empat sahabat dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Jadi, Siapakah beliau? Baiklah, anggap saja salah satu orang alim sekelas Jalaludin Rumi atau Al Ghazali.

Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya : Maksudnya saya tau, jangan kamu berkumpul atau berkawan dengan orang yang sesat, jangan berkumpulnya sudah sangat jelas sekali bagi saya, tidak saya protes. Bid’ah, saya tau ini artinya sesat kalau bukan kafir. Hanya saja, kata kata “sesat”nya yang bagaimana yang sampai sekarang masih belum jelas. Kenapa? Karena saya adalah orang yang tidak sesat sedangkan orang orang yang beragama Kristen, Hindu, Buddha dan agama lainnya termasuk Atheis adalah sesat, itu adalah kata saya. Tapi saya adalah sesat kata orang dengan agama lain, kata seorang Kristen atau Buddha saya adalah sesat, diliat dari sudut pandang mereka. Jadi kata kata sesat ini ingin saya minimalisasikan kepada satu aliran dulu. Yaitu atheis, anggap saja semua agama itu benar baik, maka yang tidak baik adalah yang tidak beragama. Dan yang tidak beragama adalah sesat alias bid’ah.

Kemudian, maka berhati hatilah darinya. Oke, saya juga tidak tertarik membahas ini, karena saya pada hakekatnya adalah juga seorang manusia yang selalu berhati hati kepada orang lain, dengan cara menaruh prasangka buruk baik, sebelum berprasangka buruk.

Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al-Hikmah : Jelas, tak perlu lagi dibahas panjang lebar. Kecuali yang dimaksud Al Hikmah itu bukan seperti yang saya tau selama ini, ataukah ada versi pengertian hikmah yang lain?.

Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh : Artinya si penulis ingin sejauh mungkin dari orang yang disebut Bid’ah, bagaimanapun, kalau perlu pakai benteng besi.

Dan saya makan di samping Yahudi dan Nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah : artinya dia lebih baik berkenalan, bersahabat baik dengan Yahudi dan Nasrani ketimbang orang bid’ah alias sesat.
Al Fudlail Bin Iyyadl, adalah orang yang tidak sesat alias tidak bid’ah*. Tidak mau bertegur sapa dengan ahli bid’ah*, tidak mau kenal dengan ahli bid’ah*, sejauh mungkin menghindari ahli bid’ah. Dan lebih memilih berkawan dengan Yahudi atau Nasrani ketimbang ahli bid’ah*.*Kesimpulan Bid’ah untuk sementara disepakati sebagai sesat dan tidak beragama
:::::::::::::
Secara keseluruhan, orang ini jelas jelas bukan manusia yang utuh. Kenapa? Karena menurut Kuntjaranigrat (kalau tidak salah) manusia itu adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Dan orang ini telah menghapus salah satu jenis manusia dalam agenda keramahtamahannya, yaitu orang yang bid’ah, meski sebenarnya konteks bid’ah itu sendiri sebenarnya belum begitu jelas.

Dia juga tidak memperdulikan bahwasanya manusia itu diciptakan berbeda beda untuk saling mengenal, bukan untuk saling memperbesarkan perbedaan. Maaf, sekali lagi maaf buat orang orang yang merasa agamanya terbawa bawa. Menurut saya 2 orang yang saling berbeda agama bertemu, itu lebih bahaya daripada pertemuan 2 orang yang satu beragama yang satu tidak punya agama. Kalau yang satu beragama dan yang satu lagi beragama tapi beda, ada kemungkinan mereka saling curiga, saling fitnah dan bisa bisa saling menumpahkan darah!

Kalau yang bertemu itu adalah 1 orang yang beragama dengan satu orang yang tidak beragama, maka yang beragama bisa mendapat pahala dengan cara memberi penyegaran kepada yang belum beragama atau yang pernah beragama lalu ditinggalkan. Bukankah pertemuan tersebut bisa menjadi suatu ajang penyebaran agama?

Lagipula, lebih utama menyebarkan agama kepada orang yang tidak beragama daripada menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Sehingga, kadangkala duduk dengan orang bid’ah itu lebih penting ketimbang orang tidak bid’ah, siapa tau banyak pelajaran dari situ. Siapa tau dalam diskusi kita, kita bisa mengetahui sebab musyabab ia melepaskan agamanya, sehingga kita bisa menjaga agar diri kita sendiri tidak melepaskan agama yang sudah kita anut.

Ingat, manusia adalah makhluk sosial. Beragama atupun tidak, kita tetap menjadi makhluk sosial yang saling memerlukan satu sama lain. Jangan apatis dengan orang lain, jangan menebarkan kebencian, kesan yang tertangkap dari tulisan diatas adalah pengkucilan dan penanaman bibit kebencian terhadap segolongan manusia, padahal sekali lagi saya katakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tercipta berbeda beda untuk menjadi suatu kesatuan.

Bahkan, kalau benar orang yang bid’ah itu memiliki definisi yang sama dengan manusia yang tidak beragama alias sesat, bukankah tidak sepantasnya kita menjauhi mereka? Bukannya lebih baik kita membantu mereka dengan cara memberi penyegaran rohani? Selama manusia itu tidak saling mengganggu, tidak pantas kita mengganggu manusia lain, jadi selama orang bid’ah itu tidak mengganggu iman kita, dalam artian tidak memaksa kita untuk melepaskan agama kita, kenapa kita harus membenci mereka? Apakah sudah lupa dengan hablum minannas? Sampai sampai menggunakan dinding besi segala, nanti justru dinding besi itu yang mengurung kita dalam kesendirian.

Serta, sebagai seorang Muslim, kenapa dia harus memilih untuk bergaul dengan Yahudi yang diciptakan Tuhan di dunia ini sebagai kaum yang nasibnya adalah untuk dibantai? Seperti pada zaman Fir’aun dan saat Hitler bersama Nazinya berkuasa. Tunggu saja suatu saat nanti Yahudi akan menjadi bahan holocaust lagi!. Kenapa juga harus lebih memilih Nasrani, yang jelas jelas seringkali oknum nya memaksa umat beragama Islam untuk mengikuti agama mereka? Bukankah Yahudi dan Nasrani itu tidak pernah puas sebelum kaum beragama Islam mengikuti mereka. Jika lebih memilih untuk makan disamping Nasrani dan Yahudi ketimbang orang tidak beragama, ada kecenderungan si penulis memiliki kesamaan dengan Yahudi dan Nasrani: Memaksakan kehendak, dan tidak pernah puas sebelum yang dipaksa mau menurut!

Ada satu lagi pertimbangan sebelum pembahasan ini saya hentikan. Seperti halnya Bang Tajib di sini, saya juga punya pertanyaan. Tanyakan pada diri sendiri dengan hati nurani masing masing, apakah kita semua sudah yakin seyakin yakinnya bahwa agama kita masing masing itu adalah benar? Darimana kita tau? Karena warisan orang tua kita atau guru kita yang teriak teriak bahwa agama ini adalah yang paling benar? Apakah sudah yakin kalau kitab kitab dan dalil dali yang selama ini dianggap dan dipercaya jadi patokan itu adalah murni?

Seorang Parallel Divergence sudah menyinggungnya disini. Hanya saja ia seorang atheis yang mempertanyakan bukan hanya ajaran agama tetapi juga keabsahan kitab suci Al Quran. Bagi saya pribadi, Al Qur’an adalah kitab suci yang memang tak mungkin salah, tapi penerjemahannya dan penafsirannya mungkin salah dan disalah gunakan. Maka bukan Qur’an nya yang salah, tapi manusia yang menterjemahkannya. Kalau Al Qur’an yang merupakan kumpulan kalimat kalimat langsung dari Allah, Tuhan yang sebenar benarnya Tuhan saja manusia bisa kepleset dalam kesalahan penerjemahan dan pengertian, sangatlah mustahil bagi manusia untuk tidak salah dalam mengartikan dan menterjemahkan buatan manusia, seperti halnya kutipan tadi. Kenapa? Karena manusia itu tidak pernah luput dari salah dan dosa.

Karena itulah saya mempertanyakan kebenaran dan ke’valid’an (validity) dari pernyataan Al Fudlail Bin Iyyadl yang saya kutip itu. Ya siapa tau saja ada kesalahan penerjemahan, siapa tau arti sebenarnya adalah:
Barang siapa yang duduk dengan ahli bid’ah, maka berhati hatilah darinya dengan cara menasehatinya (hati hatilah dalam menasehatinya, jangan membuatnya tersinggung dengan memulai kata kata dengan kata KAFIR™), jika tidak, maka tidak akan mendapat hikmah. Dan saya ingin jika diantara saya dan ahli bid’ah ada perbedaan yang jelas, yaitu perbedaan sikap dan tata cara menjalani kehidupan antara orang yang beragama dan memiliki petunjuk, dengan orang yang tidak beragama dan memiliki petunjuk. Dan saya lebih suka dikatakan sebagai umat beragama seperti halnya umat terdahulu yaitu Yahudi dan Nasrani, ketimbang menjadi umat yang tidak beragama.
Bukannya seperti yang tertulis di blog :Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al-Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping Yahudi dan Nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah

No comments:

Post a Comment

Wanna leave a comments ?