Wednesday, July 18, 2018

World Cup 1998

Piala Dunia
Layar telah diangkat, panggung telah digelar, pesta sepakbola empat tahunan yang ditunggu-tunggu oleh ratusan juta penggemarnya di muka bumi telah memulai langkah pertamanya. “Allez…! Allez…! Allez…!” seru para penyanyi yang pekan lalu menghangatkan suasana undian di stadion Velodrome Marseille. Hasil pengundian untuk menentukan grup dan jadwal pertandingan bagi 32 negara peserta putaran final Piala Dunia telah membuat para pakar maupun awam mengeluarkan bola kristalnya dan menerka-nerka siapakah yang bakal menjuarai France 98? Siapa pun, sudah bisa dipastikan ia tidak akan datang dari benua Asia. Ia juga tidak akan muncul dari kawasan Concacaf yang diwakili oleh Meksiko, Amerika Serikat, dan Jamaika. Sejarah membuktikan, gelar juara dunia pada cabang olahraga paling popular di kolong langit ini hanya dimiliki oleh enam Negara yaitu Uruguay, Italia, Jerman, Brazil, Inggris, dan Argentina. Keenam Negara tersebut berasal dari dua belahan dunia saja yaitu Eropa dan Amerika Latin. Maka, dikurangi Uruguay, juara dunia 1930 dan 1950 yang kali ini absent karena tergusur di penyisihan tinggal lima Negara yang berpeluang mengulang sukses.

Brazil, yang pada tahun 1994 di AS membuat sejarah baru dengan menjadi juara dunia sebanyak empat kali, layak menjadi ungulan pertama. Posisinya sebagai juara bertahan dan rekor pertandingannya dalam dua tahun terakhir memberi tanda culup jelas bahwa sepakbola Samba masih akan menggoyang dunia. Apalagi kalau Mario Zagallo bisa mempertahankan tandem mesin gol Romario-Bebeto. Atau, siapa tahu dengan memasukan juga disana Ronaldo, ia bisa menciptakan sebuah formula baru, sebutlah berupa trio “Ro-Be-Ro” yang akan mengingatkan kita pada trisula Jarzinho-Pele-Tostao dalam Piala Dunia 1970, yakni tatkala Zagallo (pemain sayap emas pada Piala Dunia 1958 dan 1962) pertama kali menukangi Brazil? Ingat, Ronaldo sekarang sudah benar-benar Ronaldo senior yang makin matang dan bertenaga, Bukan lagi “Ronaldinho”* yang belum begitu dindalkan seperti Piala Dunia 1994. Masalahnya memang Brazil tidak pernah lagi memiliki pertahanan sekukuh Carlos Alberto cs di tahun 1970, pertahanan yang sekaligus menjadi peletup serangan balik dengan kecepatan tinggi. Empat Negara juara lainnya yang berpeluang menjadi juara lagi adalah Jerman, Italia, Argentina dan Inggris. Bagaimana Prancis sang tuan rumah? Bagaimana Pula Afrika?

Jerman, juara dunia 1954, 1974, dan 1990 adalah favorit dalam semua turnamen besar. Rekornya juga hebat di kejuaraan Eropa, terakhir merebut gelar tahun 1996 dengan menaklukkan Rep. Ceko 2-1 di Wembley, memperpanjang nama harum mereka. Namun yang menjadi masalah Jerman adalah karena belum memiliki barisan depan yang benar-benar andal, lengkap dengan penyerang berkarakter istimewa macam Rudi Voller dan Jurgen Klinmann. Trauma pelatih Berti Vogts dipecundangi Bulgaria pada perempatfinal Piala Dunia 1994 tentunya juga tidak mudah dihapus. Apalagi sekarang satu grup dengan Yugoslavia** yang secara kualitas lebih baik daripada Bulgaria.

Italia sekarang pun, dengan Roberto Baggio sudah tidak bisa diharapkan lagi, tidak sekuat tiga tahun lalu ketika dengan perjuangan ekstra keras bisa merebut tiket final untuk ditaklukkan Brazil dengan adu penalty. Bukti masih hangat dikepala kita, pasukan Cesare Maldini hampir-hampir tak kebagian tiket ke Prancis karena kalah bersaing dengan Inggris, untunglah masih bisa mengatasi Russia dalam play-off untuk menentukan jatah sisa.

Di bumi Amerika Latin, Argentina bisa mempertahankan posisinya sebagai pimpinan walau tanpa Diego Maradona, sang primadona sekaligus dirigen dalam Piala Dunia 1986 dan 1990. tapi seberapa jauhkah posisi itu bisa dipertahankan di tingkat dunia, hingga akhirnya mampu menyamai Jerman dan Italia sebagai triple champion? Inggris, dengan bekal tiket semi final Piala Eropa 1996 dan juga rekor cukup bagus dalam penyisihan menuju putaran final Piala Dunia kali ini terasa sangat berambisi mengulangi prestasi 1966. Pelatih Glenn Hoddle seperti tak sabar lagi untuk menyerbu Prancis, mengobrak-abrik semua lawannya, tak sadar Alan Shearer belum bisa tampil setajam Kejuaraan Eropa 1996, begitu pula Paul Gascoine, seniman dengan nafsu mencetak gol yang telah diuji sejak Piala Dunia 1990.

Ini untuk kedua kalinya Prancis menjadi tuan rumah setelah yang pertama tahun 1938. Buat kita tahun itu tentu cukup menarik karena kesebelasan ‘Indonesia’ ikut ambil bagian, meski dengan nama dan bendera ‘Dutch East Indies’ (Hindia Belanda Timur). Sebagai bukti bahwa pemain Indonesia benar-benar hadir di sana, inilah dia sebagian nama mereka (keturunan Jawa, Cina Ambon, Arab) Mo Heng (kiper), Hu Kon, Samuels, Nawir, Anwar, Meng, Hong Djin, Pattiwel, Taihutti, Soedarmadji. Satu-satunya yang Belanda totok mungkin Sommers. Mereka hanya bertanding satu kali di Reims, dan kalah telak 0-6. Tentu saja karena lawan yang dihadapi adalah tim tangguh Hongaria yang kemudian melaju ke final. Juaranya bukan Prancis, sang tuan rumah. Hongaria dikalahkan oleh Italia dengan skor 4-2, juara bertahan tak terkalahkan dengan salah satu pemain andalannya Giuseppe Meazza yang namanya kini diabadikan sebagai nama stadion San Siro, Milan. Bagaiman nasib Prancis? Di penyisihan dengan sitem gugur melalui satu pertandingan mereka menggebuk Belgia 3-1 tapi di babak berikutnya mereka digasak Italia 3-1 juga. Sepakbola Prancis memang termasuk kurang beruntung di arena Piala Dunia, bahkan pada masa kejayaan Michael Platini, Jean Tigana, dan Alain Giresse di dekade 1980-an. Apakah sekarang akan membaik dengan kembali menjadi tuan rumah dan Platini menjadi wakil ketua penyelenggara?

Sebuah Catatan Dari Sumohadi Marsis, Terbit Di Tabloid Bola Pada Tahun 1997.
:::::::::::::::::
Ada alasan kenapa saya mencantumkan artikel yang pernah terbit di tabloid olahraga Bola ini kedalam blog saya. Pertama, catatan ini adalah salah satu artikel di media cetak yang menjadi korban saya saat baru belajar menggunakan mesin ketik. Waktu itu, supaya lancar menggunakan mesin ketik saya memanfaatkan artikel ini sebagai salah satu bahan yang disalin.

Kedua, catatan ini juga menjadi catatan bung Sumohadi Marsis yang menurut saya paling berkesan selama saya pernah membaca tabloid olahraga Bola. Ketiga, France 1998 adalah Piala Dunia pertama yang saya tonton dari awal sampai akhir, dari partai pembukaan sampai partai final, bahkan saya menonton terus pertandingan pertandingan kualifikasi France 1998 yang disiarkan oleh RCTI waktu itu.

Sedangkan saat USA ’94, saya masih terlalu kecil, dan belum mengerti sepenuhnya tentang sepakbola, belum menyadari indahnya dan mengasikkannya menonton pertandingan pertandingan kelas dunia yang disiarkan televisi. Karenanya France 1998 menjadi sangat berarti buat saya, terlebih lagi tabloid Bola saya yang saya koleksi sejak saya duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama sampai kelas tiga sekolah menengah atas dalam rentang waktu tahun 1996 sampai 2001 sudah dikilokan kepada tukang loak***, sehingga informasi mengenai Euro 1996 dan 2000, termasuk juga France 1998 sudah hilang sama sekali. Setidaknya catatan ini bisa menjadi penghibur saya saat saya ingin bernostalgia dengan Piala Dunia pertama saya.

*Sebutan “Ronaldinho” setau saya berarti Ronaldo kecil, panggilan itu dialamatkan pada Ronaldo Gundul saat ia masih muda, saat saat dimana ia baru bermain buat timnas Brazil, dimana kemudian pada tahun 1999 Ronaldinho yang sekarang kita kenal sebagai pemain di klub Barcelona (Spanyol) yang gantian menyandang nama tersebut, bedanya ia tidak melepaskan nama “Ronaldinho”nya sampai sekarang, mungkin untuk membedakan dengan Ronaldo Gundul yang masih eksis, bisa saja setelah Ronaldo Gundul pensiun dari timnas Brazil atau modar, “Ronaldinho” akan memasang nama Ronaldo di nama punggungnya.

**Sempat berubah jadi Serbia Montonegro dan kemudian mengikuti Piala Dunia 2006 sebelum akhirnya pecah lagi jadi dua negara terpisah yaitu Serbia dan Montenegro.

***Karena tumpukannya yang sudah mencapai hampir sedada saya, dan juga sudah sangat memakan tempat dirumah saya

No comments:

Post a Comment

Wanna leave a comments ?